Tentara Anak-Anak Masih Merajalela

Oleh : Ranap Simanjuntak

Perang memang tak pandang bulu. Di beberapa tempat wilayah konflik di dunia ini anak-anak ikut terlibat sebagai tentara. Mereka terlibat aktif menggenggam senjata dan bertempur di medan laga.

Child Soldiers

Contoh teranyar keterlibatan anak-anak sebagai tentara terlihat dalam krisis Yaman beberapa bulan terakhir. Tentara anak hasil rekrutan tentara Yaman kemudian digunakan oleh unit yang memisahkan diri,untuk melindungi demonstran antipemerintah.

April lalu, Human Rights Watch (HRW) mengecam penggunaan tentara anak di salah satu divisi tentara Yaman, yang memihak para pengunjuk rasa antirezim dalam krisis politik yang telah mengakibatkan 125 orang tewas.

Hasil temuan HRW, puluhan tentara bersenjata di bawah usia 18 tahun telah melakukan tugasnya sejak meletus aksi protes dan kekerasan terhadap Presiden Ali Abdullah Saleh di akhir Januari lalu. Ada 20 di antaranya mengaku berusia 14 dan 16 tahun. Dan mereka mengatakan, sudah dua tahun di divisi di bawah komando militer tertinggi, jenderal pembelot Jenderal Ali Muhsin al-Ahmar.

Sebelum protes antirezim, mereka telah direkrut untuk memerangi pemberontah Syiah di Yaman utara. “Pemerintah Yaman telah terlalu lama menempatkan anak-anak pada risiko besar dengan mengerahkan tentara anak-anak di medan pertempuran,” kata Joe Stork, Wakil Direktur HRW untuk Timur Tengah, Jumat (15/4)..

HRW mendesak AS untuk menunda bantuan militer ke Yaman segera kecuali Pemerintah Yaman setuju untuk menegosiasikan rencana aksi dengan PBB guna mengakhiri penggunaan tentara anak. “Lawan Presiden Saleh seharusnya tidak memperpanjang masalah dengan menggunakan anak-anak untuk keamanan aksi protesnya,” tambahnya.

Sudah Cerita Lama

Menilik sejarah, keterlibatan anak-anak yang terlibat dalam konflik bersenjata dimulai sekitar abad 18. Hanya saja saat itu, mereka tak langsung ikut serta turun ke dalam konflik bersenjata. Anak-anak bisa dikatakan sebagai penggembira saja yakni sebagai penabuh genderang perang.

Namun tradisi ini nyatanya berkembang. Secara bertahap anak-anak pun mulai menjadi kadet yang berfungsi membantu tentara pada angkatan perang. Kemudian, terjerumus fenomena baru anak-anak yang tergabung dalam angkatan perang yang disebut dengan tentara anak (Child Soldiers). Jumlahnya pun membesar. Tak hanya di benua Afrika yang  sampai saat ini masih terus saja diwarnai konflik saudara ataupun benua Asia saja, tapi juga di Eropa, bahkan di benua Amerika.

Sekitar 1990-an di Amerika Latin terdapat tentara anak yang tergabung dalam angkatan bersenjata di El Salvador, Ekuador, Guatemala, Mexico, Nicaragua, Paraguay, Kolombia dan Peru. Bahkan di Kolombia ada sebutan khusus untuk tentara anak yakni “Little Bells”.

tentara anak-anak di Srilangka

Sebuah sumber menyebutkan, sekitar 300.000 tentara di bawah usia 18 tahun sekarang ini berperang dalam konflik bersenjata di sebanyak 30 negara. Sementara keterangan sumber lain bahkan menyatakan lebih dari 300.000 anak-anak di bawah usia 18 tahun ikut berperang di lebih dari 60 negara.

Di Burma ibukota Myanmar, disinyalir ada 70.000 tentara anak. Angka ini memegang rekor jumlah tentara anak yang terbesar  sedunia. Terlebih jumlah tersebut belum ditambah tentara anak yang direkrut oleh tentara oposisi di negara tersebut yang ada di dalam laporan HRW.

Syukur, jumlah tentara anak-anak ini menurun dratis atas desakan dunia internasional. Penggunaan anak-anak sebagai tentara terbukti menyalahi aturan. Sesuai dengan pasal 38 Konvensi tentang Hak anak tahun 1989 khususnya  di dalam Pasal 77 (2) Protokol Tambahan I meletakkan kewajiban pada para pihak yang terlibat konflik untuk tidak merekrut anak-anak yang belum mencapai 15 tahun ke dalam angkatan bersenjata dan melibatkan mereka secara langsung dalam petempuran.

Juga berdasarkan pasal 4 ayat 3 Protokol Tambahan II 1977 Konvensi Jenewa 1949 yang digunakan bagi konflik internal suatu negara terhadap anak-anak harus diberikan perlindungan dan tindakan yang menolong mereka ketika diperlukan. Secara ringgar tenatara anak-anak tidak hanya melanggar Hukum Humaniter Internasional tetapi juga melanggar Hukum Internasional yakni Konvensi Hak Anak (The Convention on the Rights of the Child) yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 182 Tahun 1999 juga memberikan pengaturan mengenai perlindungan anak dalam sengketa bersenjata, khususnya mengenai perekrutan anak untuk digunakan dalam sengketa bersenjata.

Desakan dunia internasional membuat sejumlah negara atau kelompok yang berkonflik meniadakan tentara anak-anak. Misalnya dua tahun lalu di bulan Juli, Nepal dengan perlahan membebaskan lebih dari 4.000 bekas petempur Maois, sebagian besar dari mereka tentara anak-anak. Pada Jnuari tahun ini, sebanyak 24.000 bekas tentara anak yang berperang untuk Tentara Pembebasan Rakyat atau Maois di Nepal selama 10 tahun perang sipil mulai meninggalkan kamp secara bertahap. (berbagai sumber)